Tren AI di Media Sosial: Influencer Tambah Hewan Buatan di Foto
Tren baru di media sosial memperlihatkan influencer menambahkan hewan hasil AI pada foto asli. Pelajari dampak, transparansi, dan pandangan pakar.
PERINGATAN: SEMUA FOTO YANG MENAMPILKAN HEWAN DIBUAT DENGAN AI
Baru-baru ini, tren di media sosial membuat banyak postingan terasa tidak biasa karena hewan pada gambar sebenarnya dihasilkan lewat kecerdasan buatan (AI). Konten seperti ini sering disebut sebagai AI slop karena kualitasnya yang terkadang tidak autentik.
Namun ada juga gerakan baru yang mendorong kreator untuk menambahkan hewan hasil AI ke foto asli guna menambah daya tarik visual. Fenomena ini memancing beragam reaksi, mulai dari kekaguman hingga kekhawatiran soal keaslian konten.

Influencer bernama Zoe Ilana Hill, yang memiliki sekitar 82.000 pengikut, mulai mencoba tren ini setelah terinspirasi cara kreator lain menggunakan AI untuk menambahkan hewan virtual ke foto mereka. Ia mengakui bahwa ide ini terasa sangat spesial karena hewan yang ditambahkan tampak nyata.
Menurutnya, AI dipandang sebagai alat yang bisa dipakai bekerja sama dengan karya asli, bukan sebagai ancaman terhadap kariernya sebagai konten kreator. Ia juga menambahkan bahwa ia selalu menandai bahwa gambar tersebut dihasilkan AI agar pengikut tidak keliru mengira gambar itu benar adanya.

Postingan Zoe yang menampilkan rusa (deer) AI itu mendapat respons positif, dengan lebih dari 20.000 like dan komentar seperti “ini lucu banget” serta “trennya menggemaskan”.
Setiap kali ia membagikan foto hasil AI, Zoe berusaha jelas bahwa gambar tersebut bukan foto asli, dengan menandai di deskripsi bahwa konten tersebut dihasilkan AI. Ia percaya transparansi penting agar pengikut tidak terjebak dalam klaim keaslian.

Di platform lain, influencer Jerman dengan pengikut mencapai jutaan juga memposting rangkaian anjing dalmatian buatan AI. Ada yang berkomentar menanyakan apakah itu benar-benar AI, sementara yang lain menyoroti kesejahteraan hewan virtual yang turut dihasilkan mesin.

Ahli media sosial Matt Navarra menilai AI memudahkan kreator menghasilkan gambar berlevel tajam dan estetis, mulai dari hewan fiksi hingga gambar yang tampak sangat realistis. Namun ia menekankan bahwa pembuat konten yang serius tetap ingin menjaga reputasi mereka dengan menjaga keaslian karya.
Navarra juga memprediksi bahwa tahun 2026 bisa menjadi masa di mana konten AI mendominasi feed media sosial, terutama jika tren ini semakin meluas dan terus berkembang. Kendati begitu, ia yakin banyak kreator akan tetap mengutamakan kenyataan demi menonjol di antara lautan konten buatan AI.

Namun tidak semua orang setuju dengan tren ini. Maddi Mathers, seorang seniman tato dari Melbourne, menulis komentar singkat di postingan influencer Jerman tersebut dengan ungkapan bahwa ia suka karya asli, bukan konten AI. Ia mengaku sering melihat konten AI namun kadang terasa membuatnya frustasi ketika terlalu mudah tertipu oleh kreasi mesin.

Kepala ilmuwan kreatif Katina Bajaj menyoroti kekhawatiran terhadap AI slop, yaitu beban kognitif akibat proses pembuatan dan konsumsi konten AI yang terlalu cepat. Ia menekankan bahwa solusi bukan pelarangan, melainkan meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan kreatif dengan memberi waktu bagi otak untuk mencerna konten yang dilihat dan dibagikan.
Menurut Bajaj, saat ini tidak ada kewajiban resmi untuk memberi label pada gambar yang dihasilkan atau diubah menggunakan AI di Instagram, meskipun sistem platform terkadang menandainya secara otomatis jika terdeteksi. Sementara itu, TikTok meluncurkan alat baru yang memungkinkan pengguna mengatur preferensi konten, termasuk lebih banyak atau lebih sedikit konten AI untuk halaman For You milik mereka.

Meski banyak perangkat lunak AI untuk membuat tren ini, tidak semua mampu menghasilkan gambar sempurna seperti yang terlihat di feed. Emily Manns, kreator fesyen asal Amerika Serikat, mencoba beberapa aplikasi AI namun hasilnya justru mengecewakan; satu gambar menghasilkan hewan yang tidak jelas dan bahkan menambah jari ekstra pada tangan penggunanya. Ia kemudian menghapus postingan tersebut karena kontennya tidak menarik bagi pengikut.
Pengalaman ini jadi pengingat bahwa kualitas, keaslian, dan transparansi tetap penting bagi efektivitas konten di media sosial mana pun.
Bagaimana industri merespons tren ini?
Para pakar menyerukan kehati-hatian dalam menggunakan AI untuk konten publik. Sementara beberapa kreator melihat AI sebagai alat kreasi yang mampu memperkaya gaya visual, yang lain khawatir jika konten palsu meluas tanpa transparansi. Platform besar berupaya menyeimbangkan antara kebebasan berkreasi dan perlindungan audiens agar tidak mudah tertipu.
Pendapat Ahli
Pendapat Ahli: AI memudahkan pembuatan konten visual berkelas tinggi dan estetis, tetapi penting bagi kreator untuk menjaga keaslian dan kredibilitas mereka. Transparansi adalah kunci agar audiens tidak salah mengartikan gambar sebagai fakta.
Ringkasan Singkat
Tren menambahkan hewan AI ke foto asli menarik perhatian tetapi juga memicu diskusi soal keaslian dan etika. Banyak kreator menekankan pentingnya transparansi, sementara para pakar menyarankan keseimbangan antara inovasi dan tanggung jawab. Platform media sosial terus menimbang aturan labeling dan pengaturan konten AI untuk menjaga kepercayaan pengguna.
Inti tren AI di media sosial adalah transparansi agar audiens tidak terjebak konten yang tidak asli dan tetap percaya pada pembuat konten.
Sumber: BBC News


