Mengungkap Tantangan Kebijakan Moneter Jepang dan Dampaknya pada Ekonomi
Jepang menghadapi tantangan ekonomi yang kompleks meski telah menjalankan kebijakan moneter dan fiskal ekspansif selama puluhan tahun. Artikel ini membahas mengapa kebijakan tersebut belum berhasil memacu pertumbuhan yang signifikan.
Erika Rasure dikenal secara global sebagai pakar ekonomi konsumen terkemuka, peneliti, dan pendidik. Sebagai terapis keuangan dan pelatih transformasi, ia fokus membantu perempuan memahami cara berinvestasi dengan bijak.
Jepang merupakan negara dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) tertinggi di dunia. Pada tahun 2022, rasio utang Jepang mencapai rekor 264%, dengan pemerintah menambah utang sebesar lebih dari $192 miliar hanya dalam satu tahun. Sebaliknya, tingkat utang terhadap PDB Jepang pada tahun 1980 hanya sekitar 50,6%, lebih dari lima kali lebih rendah.
Kasus Jepang menjadi contoh nyata mengapa kebijakan makroekonomi modern tidak selalu dapat mengendalikan perekonomian seperti yang sering diajarkan dalam teori ekonomi.
Bank sentral Jepang, Bank of Japan (BOJ), telah menjalankan kebijakan moneter yang tidak konvensional selama puluhan tahun. Sejak akhir 1980-an, BOJ menerapkan kebijakan Keynesian ketat, termasuk lebih dari 15 tahun program pelonggaran kuantitatif (quantitative easing/QE) yang bertujuan membeli aset swasta untuk mendukung perusahaan dan menjaga stabilitas harga.
Namun, bukti kuat menunjukkan bahwa kebijakan pelonggaran moneter tersebut hanya menghasilkan pertumbuhan semu dan gagal memperbaiki kondisi fundamental ekonomi yang stagnan. Semakin besar upaya pemerintah Jepang merangsang ekonomi, semakin minim respons yang diterima.
Poin Penting
- Ekonomi Jepang mengalami pertumbuhan lambat dan stagnasi selama beberapa dekade terakhir.
- Era 1990-an dikenal sebagai "dekade hilang" Jepang, di mana berbagai upaya kebijakan seperti QE gagal mencapai hasil signifikan.
- Setelah Resesi Besar global, Jepang mengadopsi kebijakan pelonggaran kuantitatif dan kualitatif (QQE) serta suku bunga negatif, namun hasilnya tetap terbatas.
Awal Stagnasi dan Intervensi Pemerintah
Antara 1986 hingga 1990, jumlah uang beredar di Jepang tumbuh 10,5% per tahun. Suku bunga diskonto turun dari 5% pada 1985 menjadi 2,5% pada 1987, mendorong peminjaman besar-besaran yang banyak digunakan investor Jepang untuk membeli aset di Asia, terutama Korea Selatan. Harga aset melonjak, menciptakan gelembung ekonomi yang didukung oleh biaya pinjaman yang sangat rendah.
Gelembung tersebut pecah pada 1989-1990. BOJ, yang saat itu belum sepenuhnya independen, menaikkan suku bunga dari 2,5% menjadi 6%, yang kemungkinan memicu keruntuhan pasar. Pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya kuat melambat secara signifikan. Ketika pemulihan berjalan lambat, Jepang menerapkan kebijakan Keynesian seperti pencetakan uang, penurunan suku bunga, dan peningkatan defisit pemerintah.
Serangkaian penurunan suku bunga antara 1991 dan 1995 menurunkan tingkat diskonto menjadi 0,5%, hampir mendekati batas nol. Selama dekade 1990-an, Jepang meluncurkan sembilan paket stimulus fiskal dengan total sekitar $1,3 triliun. Meskipun langkah ini belum pernah terjadi sebelumnya bagi negara industri maju, pemulihan ekonomi tetap belum tampak.
Stimulus moneter dan fiskal berhasil mencegah harga barang dan aset Jepang jatuh ke tingkat yang mencerminkan pasar. Penurunan harga biasanya membantu pemulihan setelah resesi, tetapi ketakutan Jepang terhadap deflasi menyebabkan harga konsumen justru meningkat hingga 1995. Setelah itu, efek stimulasi dan inflasi dari kebijakan tersebut nyaris tidak berpengaruh lagi.
Upaya QE dan QQE Jepang
Pada 1997, ekonomi Jepang mengalami pertumbuhan rendah, suku bunga rendah, inflasi rendah, dan banyak kredit bermasalah di bank. Dari 1995 hingga 1998, bank-bank Jepang menghapus lebih dari 50,8 triliun yen kredit macet. BOJ mulai membeli surat berharga komersial dalam jumlah besar sebagai bentuk dukungan, meskipun kebijakan ini belum dinamakan QE.
Karena pertumbuhan tetap lemah, BOJ meningkatkan pembelian aset setelah berdiskusi dengan ekonom Amerika Paul Krugman. Antara Maret 2001 dan Desember 2004, bank-bank Jepang menerima injeksi likuiditas sebesar 35,5 triliun yen, termasuk pembelian obligasi pemerintah jangka panjang yang menekan imbal hasil aset.
Pertumbuhan ekonomi sempat membaik antara 2002 hingga 2007, namun hilang saat Resesi Besar. Meskipun Jepang terlambat memulai QE dibandingkan Eropa dan Amerika Serikat, BOJ meluncurkan kebijakan pelonggaran kuantitatif dan kualitatif (QQE) pada 2013. Sayangnya, kebijakan ekspansif ini juga gagal mendorong pertumbuhan nyata.
BOJ melanjutkan pembelian aset lebih dari 80 triliun yen dan pada Oktober 2014 mengumumkan pelonggaran QQE tahap kedua. Saham Jepang naik 33% dalam delapan bulan berikutnya, tetapi pertumbuhan ekonomi tetap lemah. Pada Januari 2016, BOJ mengambil langkah drastis dengan menerapkan suku bunga negatif.
Dampak Negatif Utang dan Kebijakan Moneter
Utang publik Jepang yang sangat besar menjadi perhatian utama investor. Menurut laporan 2014 oleh manajer hedge fund Ray Dalio, beban utang riil Jepang, termasuk utang swasta, terhadap PDB diperkirakan mencapai 449%, menempatkan Jepang pada peringkat 19 dari 20 negara yang dianalisis. Biaya layanan utang yang tinggi mengurangi kemampuan menabung dan berinvestasi, sehingga membatasi pertumbuhan ekonomi dan hasil investasi.
Kebijakan moneter longgar BOJ menekan imbal hasil aset dalam negeri dengan menurunkan suku bunga lokal. Kebijakan ini juga berdampak negatif pada hasil investasi luar negeri, karena lembaga keuangan Jepang harus membayar lebih untuk lindung nilai mata uang asing dibandingkan pendapatan dari aset luar negeri seperti obligasi pemerintah. Laporan April 2016 oleh analis pasar Jepang Shannon McConaghy menyebutkan bahwa "bank Jepang yang membeli obligasi AS 5 tahun dengan risiko lindung nilai mata uang dan durasi yang sempurna akan mengalami kerugian 0,9% per tahun."
Manipulasi suku bunga dan defisit fiskal yang terus membengkak selama hampir 30 tahun belum mampu mendorong ekonomi Jepang keluar dari stagnasi. Keefektifan kebijakan Keynesian ini perlu dipertanyakan agar negara-negara seperti Amerika Serikat dan Eropa tidak mengikuti jejak Jepang ke dalam jebakan serupa.
Temukan topik menarik dan konten analitis di kategori Kebijakan Moneter pada tanggal 29-08-2023. Artikel berjudul "Mengungkap Tantangan Kebijakan Moneter Jepang dan Dampaknya pada Ekonomi" memberikan wawasan baru dan panduan praktis di bidang Kebijakan Moneter. Setiap topik dianalisis secara teliti untuk memberikan informasi yang berguna bagi pembaca.
Topik " Mengungkap Tantangan Kebijakan Moneter Jepang dan Dampaknya pada Ekonomi " membantu Anda membuat keputusan yang lebih cerdas dalam kategori Kebijakan Moneter. Semua topik di situs kami unik dan menawarkan konten berharga bagi audiens.


