Mengatasi Trauma Imigrasi: Panduan untuk Pemulihan dan Kekuatan Baru
Banyak migran mengalami trauma sebelum, selama, dan setelah proses imigrasi. Artikel ini membahas tahapan trauma imigrasi dan cara efektif untuk mengatasinya, sehingga Anda bisa menemukan dukungan dan harapan baru.
Yolanda Renteria, LPC, adalah terapis berlisensi, praktisi somatik, konselor bersertifikat nasional, dosen tambahan, dan pembicara yang mengkhususkan diri dalam penanganan trauma dan trauma lintas generasi.
Setiap pengalaman migrasi ke Amerika Serikat unik, tetapi banyak migran dan pengungsi menghadapi trauma di berbagai tahap, baik sebelum meninggalkan negara asal, selama perjalanan, maupun setelah tiba di negara tujuan.
Sebuah studi menunjukkan hampir setengah (47%) migran mengalami gangguan stres pascatrauma (PTSD), sementara penelitian lain menemukan sekitar sepertiga remaja (29%) dan orang tua (34%) mengalami trauma selama proses migrasi.
Tahapan Trauma Imigrasi
Trauma, menurut Substance Abuse and Mental Health Services Administration (SAMHSA), adalah akibat dari peristiwa atau rangkaian peristiwa yang dialami individu sebagai ancaman fisik atau emosional yang berakibat jangka panjang pada fungsi mental, fisik, sosial, emosional, atau spiritualnya.
Trauma imigrasi biasanya dibagi dalam beberapa tahap:
- Pra-migrasi: Trauma yang dialami sebelum migrasi, seperti kekerasan, kemiskinan, penganiayaan, atau konflik bersenjata, sering menjadi alasan utama orang meninggalkan negara asal. Selain itu, biaya imigrasi yang mencapai sekitar 220 USD per orang dan proses panjang juga menambah beban psikologis.
- Perjalanan dan transit: Dalam perjalanan, migran berisiko mengalami kekerasan, penahanan, kerja paksa, dan sulitnya akses layanan dasar.
- Pascamigrasi: Setelah tiba, tantangan seperti keterbatasan akses pendidikan dan layanan kesehatan, kondisi hidup yang buruk, dan tekanan finansial bisa menimbulkan trauma lebih lanjut, apalagi jika mereka harus mengirim uang ke keluarga di kampung halaman.
- Penyesuaian dan integrasi: Kesulitan beradaptasi dengan budaya baru, mengalami diskriminasi, isolasi sosial, dan kondisi kerja serta tempat tinggal yang buruk dapat memperburuk kondisi mental migran.
Menurut Amna, organisasi yang mendukung kesejahteraan psikososial komunitas pengungsi, "Pemukiman kembali bukan akhir dari perjalanan psikologis. Adaptasi di negara baru menjadi tahap menantang yang menambah beban mental. Pengungsi mengalami kehilangan, kesedihan, hingga rasa bersalah sebagai penyintas, sementara lingkungan baru bisa menjadi pengingat sakit akan kehilangan itu."
Apa Penyebab Trauma Imigrasi?
- Hilangnya identitas dan lingkungan familiar: Berpindah ke budaya baru sering memicu rasa duka budaya karena kehilangan bahasa, adat, serta jaringan sosial yang biasa menopang.
- Keterbatasan alat dan sumber dukungan: Ketidakmampuan berbahasa, keterbatasan finansial, dan kurangnya informasi membuat sulit bagi migran menyesuaikan diri dan mencari bantuan.
- Kekerasan dan kehilangan: Pengalaman kekerasan, pelecehan, atau kehilangan orang terdekat selama perjalanan migrasi merupakan trauma mendalam yang berdampak jangka panjang.
- Ketidakpastian dan ketidakstabilan: Kebijakan imigrasi yang berubah-ubah, ketakutan akan deportasi, dan masalah legalitas pekerjaan menambah tekanan mental.
Trauma pada Anak-anak
Anak-anak migran rentan mengalami trauma akibat diskriminasi, ketidakamanan ekonomi, dan pemisahan dari orang tua. Kondisi ini meningkatkan risiko depresi, kecemasan, pikiran bunuh diri, dan masalah penyalahgunaan zat.
Amna menegaskan pentingnya dukungan yang sensitif terhadap trauma dan identitas agar anak-anak merasa aman dan dapat melanjutkan pendidikan mereka. Seringkali, gejala trauma seperti kesulitan berkonsentrasi disalahartikan sebagai perilaku bermasalah.
Menurut Renteria, penerima DACA menghadapi kecemasan karena status dokumen yang tidak jelas, baik sejak kecil maupun saat hendak melanjutkan pendidikan tinggi.
Cara Mengatasi dan Mengelola Trauma
Mengakses budaya asal sekaligus budaya baru sangat penting untuk pemulihan migran. Budaya asal menyediakan dukungan emosional dan sumber daya, sementara budaya baru membuka akses ke institusi yang membantu adaptasi.
Ketersediaan pekerjaan, layanan dasar, dukungan sosial, reunifikasi keluarga, dan pembelajaran bahasa negara tuan rumah dapat mengurangi stres dan trauma.
Bagi anak-anak, akses pendidikan dan rasa aman sangat krusial. Kesehatan mental orang tua yang baik turut melindungi anak dari dampak trauma, begitu juga struktur keluarga dan jaringan sosial yang stabil.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan kemudahan akses layanan kesehatan mental melalui sekolah, tempat ibadah, dan program komunitas, serta perhatian khusus untuk kelompok rentan seperti anak tanpa pendamping dan migran LGBTQ+.
Pendekatan yang menghargai perbedaan budaya dan agama, serta integrasi dukungan mental melalui pendidikan, pelayanan sosial, dan penegakan hukum sangat penting.
Amna menambahkan, "Pendekatan yang memahami identitas beragam tanpa mempathologikan trauma membantu pengungsi merasa aman dan memulai proses penyembuhan. Pengakuan atas berbagai identitas mereka penting, terutama menghadapi diskriminasi."
"Kesedihan, stres, dan rasa sakit adalah respons normal atas pengalaman dan perpindahan yang mereka alami. Alih-alih mendiagnosis, kita harus dukung mereka untuk merasa aman dan menerima beragam reaksi atas kehilangan dan duka."
Bagi migran dan pengungsi yang mencari dukungan, berbagai organisasi seperti The Coalition for Immigrant Mental Health menyediakan layanan dalam bahasa Inggris dan Spanyol. Imigran tanpa dokumen juga dapat mengakses dukungan melalui Immigrants Rising's Mental Health Connector.
Stres akulturasi dapat diatasi dengan pemahaman bahwa identitas etnis dan nasional tidak harus bertentangan, melainkan bisa berdampingan secara harmonis.
Migran dan pengungsi membutuhkan dukungan jangka panjang berupa ruang komunitas, layanan kesehatan mental, dokumen yang tepat, dan tempat tinggal stabil. Meskipun tidak menghapus trauma, hal ini sangat membantu proses pemulihan mereka.
Pesan dari Verywell
Banyak faktor yang menyebabkan trauma pada imigran, sehingga dukungan sangat penting, baik dari pemerintah maupun komunitas. Jaringan sosial komunitas memegang peranan kunci.
Penelitian menunjukkan banyak migran dan pengungsi mengalami trauma selama proses imigrasi, menegaskan perlunya upaya lebih besar untuk membantu mereka.
Sumber Referensi
- Bustamante L, Cerqueira R, Leclerc E, Brietzke E. Stress, trauma, and posttraumatic stress disorder in migrants: a comprehensive review. Braz J Psychiatry. 2018;40(2):220-225.
- Perreira K, Ornelas I. Painful passages: traumatic experiences and post-traumatic stress among immigrant Latino adolescents and their primary caregivers. Int Migr Rev. 2013;47(4).
- Bhugra D, Becker M. Migration, cultural bereavement and cultural identity. World Psychiatry. 2005;4(1):18-24.
- World Health Organization. Mental Health and Forced Displacement.
- The Immigrant Learning Center. Understanding Immigrant Trauma.
Temukan berita terbaru dan peristiwa terkini di kategori Gangguan Stres Pascatrauma pada tanggal 04-12-2022. Artikel berjudul "Mengatasi Trauma Imigrasi: Panduan untuk Pemulihan dan Kekuatan Baru" memberikan informasi paling relevan dan terpercaya di bidang Gangguan Stres Pascatrauma. Setiap berita dianalisis secara mendalam untuk memberikan wawasan berharga bagi pembaca kami.
Informasi dalam artikel " Mengatasi Trauma Imigrasi: Panduan untuk Pemulihan dan Kekuatan Baru " membantu Anda membuat keputusan yang lebih tepat dalam kategori Gangguan Stres Pascatrauma. Berita kami diperbarui secara berkala dan mematuhi standar jurnalistik.


