Running Man 2025: Reboot Edgar Wright Gagal di Box Office

Running Man 2025: Reboot Edgar Wright Gagal di Box Office

Ulasan film The Running Man versi 2025 arahan Edgar Wright yang dirilis streaming. Bedanya dengan karya King, nuansa distopia, serta reaksi penonton Indonesia.

Film The Running Man versi 2025 dirilis secara streaming pada 16 Desember, menggugah antusias penggemar genre fiksi ilmiah dan aksi. Disutradarai oleh Edgar Wright dan dibintangi Glen Powell, versi baru ini berupaya mendekati nuansa asli karya Stephen King sambil menambahkan sentuhan satir media yang khas gaya Wright.

Ulasan singkat tentang The Running Man (2025)

  • Judul asli: The Running Man
  • Negara produksi: Inggris, Amerika Serikat
  • Genre: fiksi ilmiah, aksi
  • Rilis digital: 16 Desember
  • Durasi: 2 jam 13 menit
  • Sutradara: Edgar Wright
  • Pemeran utama: Glen Powell, Coleman Domingo, Josh Brolin, Michael Cera, Emilia Jones, Lee Pace, Jamie Lawson, William H. Macy

Setting film berada di masa depan atau realitas alternatif di mana sebuah perusahaan media bernama Network memegang kendali utama. Banyak orang hidup dalam kemiskinan sambil terpaku pada rangkaian pertunjukan realitas di layar kaca. Seorang pria bernama Ben Richards kehilangan pekerjaan karena menentang sistem dan terpaksa mengikuti kontes TV demi bertahan hidup.

Dalam kompetisi yang berlangsung, peserta harus bertahan selama sebulan sambil diincar pemburu. Hadiahnya sangat besar jika berhasil bertahan hingga akhir, dan bagian yang menarik: warga sekitar bisa mendapatkan bayaran jika melaporkan kematian peserta. Persaingan pun meluas menjadi perang antara individu dengan massa publik.

Kamera menyorot adegan perburuan dalam Running Man

"The Running Man" versi Wright berupaya lebih gelap secara tematik: ia menelanjangi kenyataan bahwa konsumerisme, manipulasi informasi, dan dominasi perusahaan bisa membentuk pendapat publik hanya lewat hiburan. Narasi menjauh dari batas antara kebaikan lawan kejahatan yang tegas, dan lebih menekankan bagaimana masyarakat menelan konten yang menampilkan kekerasan sebagai hiburan.

Adegan aksi intens dalam Running Man

Namun adaptasi ini tidak sekadar meniru versi 1987. Wright menambahkan kedalaman karakter, khususnya tokoh Bens Richards, yang digambarkan sebagai pekerja biasa yang terluka secara emosional oleh sistem. Ketegangan tumbuh dari ritme permainan TV yang dihadirkan secara visual memukau, meski kadang terasa berlebihan bagi penonton yang mengharapkan realisme yang lebih ketat.

Distopia yang terasa nyata dan kritik media

Film ini menonjolkan citra dunia di mana sebuah jaringan besar membuat publisitas, sensasi, dan gosip menjadi komoditas utama. Logo Network berperan sebagai simbol kekuasaan yang tidak bisa dipertanyakan, sementara publik dibangun untuk mendukung atau mengecam tokoh yang diberi label sebagai ancaman. Konteks ini menghasilkan refleksi tentang bagaimana kita menyerap berita dan hiburan sebagai kenyataan, terutama di era digital.

Kesan satir media pada Running Man

Penonton akan merasakan suasana yang lebih grotesk dibandingkan versi 1987: komponen humor gelap tetap ada, tetapi fokusnya lebih pada kritik sistem daripada sekadar aksi fisik semata. Adegan-adegan pertarungan muncul sebagai metafora kekuasaan, sementara pemeran pendukung memberikan dinamika yang membuat konsep permainan terasa lebih hidup.

Pemain utama dalam Running Man

Gaya visual dan arah Edgar Wright

Edgar Wright tetap mempertahankan gaya khasnya: ritme cepat, nuansa satir, dan momen komik gelap yang tidak berlebihan. Meski skala produksinya lebih besar, Wright tidak mengubah intinya: film ini tetap menghadirkan energi yang menghibur sambil memancing pemikiran tentang bagaimana media mengatur realitas.

Adegan visual bergaya Wright

Penggunaan elemen permainan televisi dalam format yang lebih megah membuat film ini terasa seperti gabungan antara thriller politik dan tontonan hiburan. Meski ada momen konyol, nuansa serius tetap menegaskan pesan inti: kekuasaan korporasi bisa memanfaatkan massa tanpa ada penyelidikan mendalam terhadap kebenaran.

Aksi kejar-kejaran di studio TV

Akhir yang menjadi topik perdebatan

Penutupnya menuai beragam reaksi karena terasa tidak sejalan dengan dorongan kelam dari cerita aslinya. Narasi King menampilkan nada suram, sementara adaptasi ini menghadirkan nuansa yang lebih optimis. Ada adegan pasca-penutup yang terasa tidak sepenuhnya terhubung dengan tema utama, membuat beberapa penonton menilai ending-nya sebagai pilihan yang kurang konsisten.

Adegan akhir Running Man

Meski begitu, film ini tetap punya momen-momen that are compelling:ritme visual, akting, dan intensitas kejadian yang menjaga fokus sejak awal hingga akhir. Bagi penggemar Wright, karya ini menawarkan pengalaman tontonan yang menghibur meski tidak selalu memuaskan sisi moral cerita.

Komentar ahli

Kritikus perfilman menilai bahwa Running Man 2025 berhasil menghadirkan satire media secara tegas, meski akhir cerita terasa terlalu frontal bagi sebagian penonton. Secara visual dan tempo, film ini tetap menjadi tontonan dinamis yang mengajak penonton berpikir tentang kekuasaan media dan cara kita mengonsumsi hiburan.

Ringkasan singkat

Running Man 2025 menawarkan dystopia visual yang lebih berat dengan karakter yang lebih manusiawi. Kritik terhadap media dan korporasi terasa lebih eksplisit dibanding versi sebelumnya, meski ending-nya menimbulkan perdebatan. Secara keseluruhan, film ini layak ditonton sebagai hiburan malam yang juga memicu refleksi tentang realitas media saat ini.

Inti cerita: hiburan bisa menjadi senjata, dan keputusan penonton untuk menolak kekerasan yang dipentaskan di layar menjadi pesan paling kuat.
0
0

Inliber adalah platform berita global yang menyajikan informasi akurat dan terpercaya dari seluruh dunia secara cepat.

Kami menyajikan liputan mendalam tentang teknologi, politik, kesehatan, olahraga, budaya, keuangan, dan banyak lagi. Inliber dirancang untuk semua pengguna internet dengan antarmuka yang ramah, sumber tepercaya, dan konten berkualitas tinggi di era digital saat ini.