Membedah Mitos Seputar Autisme yang Perlu Anda Ketahui
Temukan fakta penting tentang autisme dan singkirkan mitos yang salah kaprah. Artikel ini mengupas pandangan keliru yang sering menghambat pemahaman dan dukungan bagi individu dengan autisme dan keluarganya.
Banyak persepsi keliru yang beredar tentang autisme, seperti "autisme adalah penyakit", "vaksin menyebabkan autisme", atau "anak dengan autisme tidak dapat belajar di sekolah biasa". Pemahaman yang salah ini tidak hanya merugikan individu dengan autisme dan keluarganya, tetapi juga masyarakat luas.

Oleh: Asya Zalogina
Presiden Yayasan "Hati Terbuka"
Mitos 1. Autisme adalah penyakit
Autisme bukanlah penyakit, melainkan variasi perkembangan yang berhubungan dengan fungsi sistem saraf pusat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan autisme sebagai gangguan perkembangan umum.
Diagnosis autisme didasarkan pada pengamatan perilaku, bukan melalui tes laboratorium atau alat medis. Para ahli memantau anak yang dicurigai memiliki autisme dengan tugas tertentu, menelaah riwayat perkembangan, dan berdiskusi dengan orang tua.
Perilaku unik anak dengan autisme mulai terlihat sejak usia dini dan diagnosis dapat ditegakkan secara pasti sekitar usia dua tahun.
Setiap anak dengan autisme memiliki karakteristik yang berbeda-beda dan perilakunya dapat berubah sesuai usia dan tingkat keparahan gejala. Kriteria diagnostik autisme meliputi:
- Kesulitan dalam interaksi sosial (misalnya, jarang menatap lawan bicara, jarak yang tidak sesuai saat berinteraksi);
- Perkembangan bahasa yang terlambat atau tidak ada sama sekali;
- Kesulitan memahami konsep abstrak;
- Sensitivitas yang tinggi atau rendah terhadap rangsangan seperti suara, cahaya, bau, atau sensasi keseimbangan;
- Pemilihan makanan yang sangat spesifik;
- Kesulitan dalam perubahan aktivitas dan preferensi kuat terhadap rutinitas dan konsistensi.
Banyak individu autisme menunjukkan perilaku berulang seperti bergoyang, menggerakkan tangan, atau mengulangi kata dan suara tanpa berinteraksi dengan orang lain. Namun, agresi atau perilaku merugikan diri sendiri bukanlah ciri khas autisme.
Mitos 2. Autisme adalah gangguan yang langka
Autisme adalah gangguan perkembangan yang paling umum. Data terbaru dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 1 dari 44 anak didiagnosis dengan gangguan spektrum autisme (ASD). Anak laki-laki lebih sering mengalami autisme dibandingkan anak perempuan.
Pada tahun 2000, prevalensi autisme adalah 1 dari 150 anak. Perbedaan angka ini mungkin disebabkan oleh peningkatan kesadaran dan perbaikan metode diagnosis, bukan semata-mata lonjakan kasus baru.
Mitos 3. Semua orang dengan autisme memiliki bakat luar biasa
Mitos ini populer akibat film "Rain Man", di mana tokoh utama yang diperankan Dustin Hoffman memiliki kemampuan luar biasa dalam permainan poker.
Sebenarnya, spektrum autisme sangat beragam. Beberapa individu dengan autisme dapat fokus pada detail dengan sangat baik dan memproses informasi visual atau tekstual lebih cepat daripada orang lain. Beberapa mulai membaca sebelum mereka bisa berbicara. Namun, ada juga yang menghadapi tantangan serius dalam beradaptasi sosial dan belajar.
Beberapa ahli menduga tokoh bersejarah seperti Emily Dickinson, Virginia Woolf, William Butler Yeats, Herman Melville, dan Hans Christian Andersen mungkin memiliki ciri autisme tingkat tinggi, walaupun hal ini masih menjadi perdebatan.
Mitos 4. Anak dengan autisme tidak bisa belajar di sekolah reguler
Setiap anak dengan kebutuhan khusus berhak mendapatkan pendidikan inklusif, belajar bersama teman sebaya yang berkembang secara tipikal.
Anak dengan autisme berkembang dan kebutuhannya berubah seiring waktu, sama seperti anak tanpa diagnosis. Penelitian terkini menunjukkan bahwa intervensi intensif dimulai sejak usia dini (sekitar 2-2,5 tahun) berbasis analisis perilaku dapat membantu mengatasi tantangan dan mengoptimalkan potensi anak.
Dulu dianggap hampir semua anak dengan autisme mengalami gangguan kognitif, padahal hanya sekitar 30% yang mengalami hal tersebut. Banyak anak dengan ASD berhasil belajar di sekolah reguler dengan program standar, dengan beberapa penyesuaian seperti memungkinkan menjawab secara tertulis jika kesulitan berbicara. Ada juga yang memerlukan lingkungan belajar khusus.
Banyak yang salah paham bahwa orang dengan autisme lebih nyaman menyendiri di "dunia mereka sendiri". Faktanya, mereka ingin berkomunikasi, namun seringkali membutuhkan bantuan untuk belajar cara melakukannya.
Mitos 5. Vaksinasi menyebabkan autisme
Penelitian dari WHO, Departemen Kesehatan dan Layanan Sosial AS, American Academy of Family Physicians, dan American Academy of Pediatrics membuktikan bahwa vaksin tidak meningkatkan risiko autisme. Bahkan dalam keluarga dengan anak yang divaksin dan tidak divaksin, tingkat autisme sama.
Vaksin tidak memengaruhi tingkat keparahan autisme, waktu kemunculan gejala, maupun frekuensi autisme. Studi besar tahun 2014 yang melibatkan 1,3 juta anak dengan ASD menunjukkan anak yang menerima vaksin campak, gondongan, dan rubella justru memiliki risiko autisme lebih rendah dibandingkan yang tidak divaksin.
Mitos 6. Autisme disebabkan oleh pola asuh yang salah
Teori ini muncul setelah Perang Dunia II berdasarkan studi hubungan orang tua dan anak, namun tidak terbukti. Banyak keluarga dengan hubungan harmonis memiliki anak dengan autisme, bahkan dalam satu keluarga bisa ada anak dengan ASD dan anak yang berkembang tipikal.
Penyebab pasti autisme belum diketahui, namun faktor genetik sangat berperan. Autisme adalah kondisi bawaan, bukan akibat pengasuhan atau lingkungan.
Mitos 7. Jika anak dengan autisme mulai bicara, semua masalah akan selesai
Autisme lebih luas daripada sekadar gangguan bicara, inti permasalahannya adalah kesulitan berkomunikasi. Beberapa anak mengulang kata tanpa berinteraksi dengan orang lain. Oleh karena itu, kemampuan berkomunikasi dinilai dari kemampuan berdialog, bukan jumlah kata yang diucapkan.
Misalnya, Kola yang berusia delapan tahun sangat cerewet dan cepat menghafal puisi serta iklan. Namun, ia kesulitan meminta sesuatu secara langsung, membuatnya sering frustrasi dan menangis.
Setelah evaluasi oleh psikolog dan terapis wicara, diketahui kemampuan komunikasinya rendah. Dengan menggunakan sistem pertukaran gambar (PECS), Kola belajar memulai percakapan, menarik perhatian lawan bicara, dan menjadi lebih komunikatif. Perilakunya juga membaik, karena ia bisa mengungkapkan keinginan dan ketidaksukaan dengan kata-kata, bukan tangisan.
Mitos 8. Autisme bisa disembuhkan dengan terapi hewan atau "obat ajaib"
Internet dipenuhi dengan klaim pengobatan autisme yang beragam, dari yang ilmiah hingga tidak berdasar.
Saat ini belum ada obat untuk autisme. Program intervensi yang efektif berbasis analisis perilaku diterapkan secara luas, termasuk di Indonesia. Sebagian besar program bersifat komersial, namun ada juga layanan dukungan keluarga yang menyediakan program gratis berkualitas untuk anak dengan autisme.
Temukan topik menarik dan konten analitis di kategori Kategori Kolom pada tanggal 01-04-2024. Artikel berjudul "Membedah Mitos Seputar Autisme yang Perlu Anda Ketahui" memberikan wawasan baru dan panduan praktis di bidang Kategori Kolom. Setiap topik dianalisis secara teliti untuk memberikan informasi yang berguna bagi pembaca.
Topik " Membedah Mitos Seputar Autisme yang Perlu Anda Ketahui " membantu Anda membuat keputusan yang lebih cerdas dalam kategori Kategori Kolom. Semua topik di situs kami unik dan menawarkan konten berharga bagi audiens.


