Mengungkap Mitos Anak Tunggal: Fakta Ilmiah yang Mengejutkan
Anastasia Dolbichkina
Anastasia Dolbichkina 3 tahun yang lalu
Pencipta Konten Ahli & Pemimpin Pemikiran #Transformasi Hidup
0
9.3K

Mengungkap Mitos Anak Tunggal: Fakta Ilmiah yang Mengejutkan

Apakah anak tunggal benar-benar lebih egois dan kurang sosial? Temukan jawaban berdasarkan penelitian ilmiah terbaru yang mengubah pandangan lama tentang anak tunggal dalam keluarga.

Banyak orang percaya bahwa anak tunggal tumbuh menjadi pribadi yang egois dan manja. Namun, benarkah anggapan ini? Yuk, kita telusuri fakta ilmiah di balik stereotip tersebut.

Mengungkap Mitos Anak Tunggal: Fakta Ilmiah yang Mengejutkan

Oleh: Corinna Hartmann

Psikolog dan jurnalis ilmiah.

Selama bertahun-tahun, anak tunggal sering dianggap selalu ingin menang sendiri, sulit berbagi, dan cenderung egois. Namun, riset terbaru menunjukkan bahwa persepsi ini terlalu berlebihan. Lantas, bagaimana asal mula stereotip tersebut?

Sejak abad ke-19, seorang pendidik Amerika bernama Eugene Bohannon melakukan survei terhadap 200 orang—metode yang cukup inovatif pada masanya. Para responden diminta menggambarkan karakter anak-anak yang mereka kenal.

Dari 196 deskripsi, anak tunggal hampir selalu digambarkan sebagai anak yang dimanja. Teman sejawat Bohannon pun menerima hasil ini, sehingga anggapan negatif terhadap anak tunggal menyebar luas di masyarakat.

Selain itu, pada awal abad ke-20, dipercaya bahwa anak yang dibesarkan tanpa saudara kandung cenderung hypersensitif. Orang tua menumpahkan semua perhatian dan kekhawatiran kepada satu anak, sehingga anak tersebut menjadi mudah cemas dan rentan terhadap gangguan kesehatan mental.

Namun, psikolog Tony Falbo, yang juga anak tunggal, membantah pandangan ini. Dalam studi komprehensifnya pada 1986, ia mengulas lebih dari 200 penelitian dan menemukan tidak ada perbedaan signifikan antara anak tunggal dan anak dengan saudara kandung dalam hal karakter dan perkembangan sosial.

Menariknya, anak tunggal justru memiliki ikatan emosional yang lebih kuat dengan orang tua mereka.

Temuan ini diperkuat oleh penelitian tahun 2018 dari Andreas Klock dan Sven Stadtmüller dari Frankfurt University of Applied Sciences. Mereka menganalisis data lebih dari 10.000 siswa Jerman untuk memahami dinamika karakter anak pertama dan anak tunggal.

Mereka juga meneliti kualitas hubungan anak dengan orang tua, diukur dari kemudahan anak dalam mengungkapkan masalah penting. Hasilnya, 25% anak tunggal menilai hubungan mereka dengan orang tua sangat positif, lebih tinggi dibandingkan anak pertama, anak tengah, maupun anak bungsu dalam keluarga besar.

Meski memiliki ikatan kuat dengan orang tua, banyak anak tunggal merasakan kurangnya kehadiran saudara kandung. Penelitian tahun 2001 oleh Lisen Roberts dan Priscilla Blanton menunjukkan bahwa beberapa orang dewasa yang dulunya anak tunggal menyesali tidak memiliki saudara saat kecil.

Karena tidak punya teman sebaya di rumah, anak tunggal sering menciptakan teman imajiner saat usia dini. Namun, hal ini justru membantu mereka mengasah kemampuan sosial dan berkomunikasi.

Di sisi lain, studi dari China mengungkap bahwa anak tunggal cenderung kurang toleran dan lebih sulit berkompromi. Hal ini ditemukan dalam riset yang dipimpin psikolog Jiang Qiu, yang menyurvei 126 mahasiswa anak tunggal dan 177 yang memiliki saudara.

Dalam tes toleransi, anak tunggal menunjukkan hasil lebih rendah. Model kepribadian lima faktor (FFM) menggambarkan mereka sebagai pribadi yang lebih konflik, kurang percaya, egois, dan kompetitif.

Namun, anak tunggal unggul dalam kreativitas. Melalui tes kreativitas Torrance, mereka mampu menghasilkan ide-ide orisinal dan pemecahan masalah secara kreatif.

Kemampuan ini mungkin muncul karena mereka lebih banyak mengandalkan diri sendiri sejak kecil, sehingga terasah menjadi pribadi yang inovatif dan adaptif.

Selain itu, pemindaian otak (MRI) menunjukkan anak tunggal memiliki lebih banyak materi abu-abu di supramarginal gyrus, area otak yang terkait dengan kreativitas dan imajinasi. Namun, mereka memiliki lebih sedikit materi abu-abu di lobus frontal, bagian otak yang berperan dalam toleransi, empati, dan regulasi emosi.

Penting dipahami bahwa dampak tidak punya saudara bergantung pada seberapa banyak anak mendapatkan kesempatan mengembangkan kemampuan sosial dan kognitif di lingkungan lain, seperti di sekolah atau taman kanak-kanak.

Orang tua dengan anak tunggal perlu lebih giat mengajarkan nilai berbagi dan empati, namun jumlah anak tidak sepenting menciptakan suasana keluarga yang penuh cinta dan ketenangan.

Temukan topik menarik dan konten analitis di kategori Transformasi Hidup pada tanggal 05-02-2022. Artikel berjudul "Mengungkap Mitos Anak Tunggal: Fakta Ilmiah yang Mengejutkan" memberikan wawasan baru dan panduan praktis di bidang Transformasi Hidup. Setiap topik dianalisis secara teliti untuk memberikan informasi yang berguna bagi pembaca.

Topik " Mengungkap Mitos Anak Tunggal: Fakta Ilmiah yang Mengejutkan " membantu Anda membuat keputusan yang lebih cerdas dalam kategori Transformasi Hidup. Semua topik di situs kami unik dan menawarkan konten berharga bagi audiens.

0
9.3K

Inliber adalah platform berita global yang menyajikan informasi akurat dan terpercaya dari seluruh dunia secara cepat.

Kami menyajikan liputan mendalam tentang teknologi, politik, kesehatan, olahraga, budaya, keuangan, dan banyak lagi. Inliber dirancang untuk semua pengguna internet dengan antarmuka yang ramah, sumber tepercaya, dan konten berkualitas tinggi di era digital saat ini.