Menguak Pelajaran dari Krisis Properti Jepang yang Mengubah Ekonomi Dunia
Pelajari bagaimana krisis properti Jepang mengajarkan Amerika dan dunia tentang jebakan likuiditas, krisis kredit, serta solusi inovatif untuk mengatasi stagnasi ekonomi.
Suzanne adalah seorang pemasar konten, penulis, dan pemeriksa fakta. Dia meraih gelar Sarjana Ilmu Keuangan dari Bridgewater State University dan membantu mengembangkan strategi konten yang efektif.
Apa Itu Krisis Properti dalam "Dekade Hilang" Jepang?
Ekonomi pasar bebas mengalami siklus yang berulang, yaitu periode ekspansi dan kontraksi yang diukur melalui Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara.
Durasi siklus ekonomi, yakni fase pertumbuhan dan penurunan, dapat sangat bervariasi. Resesi biasanya didefinisikan sebagai dua kuartal berturut-turut saat PDB menurun, sedangkan depresi adalah periode kontraksi yang lebih lama, seperti Depresi Besar pada 1930-an.
Antara 1991 hingga 2001, Jepang mengalami stagnasi ekonomi dan deflasi harga yang dikenal sebagai "Dekade Hilang". Meskipun ekonomi Jepang tetap tumbuh, laju pertumbuhannya jauh lebih lambat dibanding negara maju lain. Masa ini ditandai oleh krisis kredit dan jebakan likuiditas yang berat.
Poin Penting
- "Dekade Hilang" Jepang adalah periode antara 1991-2001 di mana ekonomi Jepang melambat drastis setelah sebelumnya sangat berkembang.
- Penurunan ekonomi sebagian disebabkan oleh kenaikan suku bunga oleh Bank of Japan (BoJ) untuk mendinginkan pasar properti.
- Kebijakan BoJ menciptakan jebakan likuiditas saat krisis kredit mulai berlangsung.
- Pelajaran penting termasuk penggunaan dana publik untuk restrukturisasi bank serta mencegah deflasi dan inflasi yang menghambat pertumbuhan.
Memahami Krisis Properti "Dekade Hilang" Jepang
Ekonomi Jepang pada 1980-an sangat mengagumkan dengan pertumbuhan rata-rata tahunan PDB sekitar 3,89%, lebih tinggi dibanding Amerika Serikat yang 3,07%. Namun, masalah mulai muncul pada 1990-an.
gelembung saham dan properti Jepang pecah mulai akhir 1989. Nilai saham turun hingga 60% antara 1989 hingga Agustus 1992, sementara harga tanah merosot hingga 70% pada 2001.
Akibatnya, antara 1991 hingga 2003, pertumbuhan PDB Jepang hanya sekitar 1,14% per tahun, jauh di bawah negara industri lainnya.
Kesalahan Suku Bunga Bank of Japan
Bank Sentral Jepang, BoJ, melakukan beberapa kesalahan kebijakan yang memperpanjang dampak buruk pecahnya gelembung saham dan properti.
Kebijakan moneter yang tidak konsisten dan kekhawatiran terhadap inflasi dan harga aset mendorong BoJ membatasi suplai uang di akhir 1980-an, yang berkontribusi pada pecahnya gelembung saham.
Meski harga saham turun, BoJ tetap menaikkan suku bunga karena khawatir harga properti yang terus naik. Kenaikan ini menghentikan kenaikan harga tanah, namun juga mendorong ekonomi ke jurang resesi.
Pada 1991, BoJ menurunkan suku bunga secara drastis, namun ini terlambat karena jebakan likuiditas dan krisis kredit sudah terjadi.
Memahami Jebakan Likuiditas
Jebakan likuiditas terjadi ketika rumah tangga dan investor lebih memilih menyimpan uang tunai, baik di rekening jangka pendek maupun secara fisik, daripada berinvestasi.
Alasan utama meliputi ketidakpercayaan untuk mendapatkan imbal hasil lebih tinggi, ekspektasi deflasi (penurunan harga), atau deflasi yang sudah berlangsung. Ketiga hal ini saling berkaitan dan memperkuat siklus tersebut.
Dalam kondisi ini, suku bunga rendah tidak efektif karena orang menunda pengeluaran dan investasi dengan harapan harga barang dan jasa akan lebih murah di masa depan.
BoJ mempertahankan suku bunga diskonto sekitar 0,5% sepanjang 1990-an, namun ekonomi Jepang tetap sulit bangkit selama deflasi berlangsung.
Cara Keluar dari Jebakan Likuiditas
Untuk mengatasi jebakan likuiditas, dibutuhkan kebijakan fiskal dan moneter yang mendorong rumah tangga serta bisnis mau berbelanja dan berinvestasi.
Kebijakan Fiskal
Pemerintah dapat memberikan insentif langsung kepada konsumen melalui pengurangan pajak, pengembalian pajak, dan pengeluaran publik.
Jepang pernah mencoba berbagai kebijakan fiskal, namun banyak dana terbuang untuk proyek publik yang tidak efektif dan membantu perusahaan yang gagal. Para ekonom sepakat bahwa stimulus fiskal harus diarahkan langsung ke konsumen agar efektif.
Menambah Jumlah Uang Beredar
Alternatif lain adalah "mengembangkan" ekonomi dengan meningkatkan jumlah uang beredar secara langsung, bukan hanya menurunkan suku bunga nominal.
Bank sentral dapat membeli obligasi pemerintah di pasar terbuka, menukar obligasi tersebut dengan uang tunai, sehingga meningkatkan suplai uang—proses ini dikenal sebagai monetisasi utang.
Pada 2001, BoJ mulai fokus mengendalikan jumlah uang beredar, bukan suku bunga, yang membantu mengurangi deflasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun, bank juga harus bersedia meminjamkan uang yang mereka miliki, yang membawa kita pada masalah berikutnya: krisis kredit.
Mengatasi Krisis Kredit
Krisis kredit terjadi ketika bank memperketat persyaratan pinjaman dan enggan memberikan kredit.
Beberapa sebab utama termasuk:
- Bank harus mempertahankan cadangan untuk memperbaiki neraca keuangan setelah mengalami kerugian besar, seperti yang dialami bank-bank Jepang akibat investasi properti.
- Pengurangan risiko berlebihan, seperti yang terjadi di AS pada 2007-2008 saat lembaga keuangan mundur dari pemberian pinjaman subprime dan mengurangi risiko.
Pemberian kredit yang terukur sangat penting bagi ekonomi pasar bebas karena membantu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pengeluaran, dan mendorong efisiensi serta pertumbuhan.
Jika bank enggan meminjamkan uang, ekonomi sulit tumbuh. Krisis kredit juga memperkuat deflasi karena kurangnya uang baru yang masuk ke pasar, sehingga konsumen dan bisnis menahan pengeluaran dan harga terus turun.
Solusi Menghadapi Krisis Kredit
Krisis kredit, mirip dengan jebakan likuiditas, mendorong deflasi karena bank menahan pemberian pinjaman sehingga uang baru tidak mengalir ke ekonomi. Berikut ini beberapa solusi yang dapat diterapkan.
Restrukturisasi Bank
Di Jepang, bank lambat mengakui kerugian akibat krisis kredit. Meskipun dana publik tersedia untuk restrukturisasi, banyak bank enggan melakukannya karena takut stigma dan kehilangan kontrol kepada investor asing.
Pengakuan kerugian dan transparansi sistem perbankan sangat penting agar krisis kredit dapat diatasi. Bank juga harus percaya diri dalam mengelola risiko.
Melawan Deflasi
Deflasi membuat investor dan rumah tangga menimbun uang tunai karena nilai uang mereka akan lebih tinggi di masa depan, yang dapat memperparah jebakan likuiditas.
Nilai jaminan pinjaman turun, menyebabkan kerugian bank dan pengurangan pemberian kredit, memicu krisis kredit.
Inflasi yang moderat dan stabil sebenarnya dapat membantu menghindari periode pertumbuhan lambat yang berkepanjangan, seperti yang dialami Jepang pada 1990-an, dengan mendorong konsumsi dan investasi.
Helicopter Money
Reinflasi ekonomi bukan hal mudah terutama jika bank enggan meminjamkan uang. Ekonom Amerika terkemuka, Milton Friedman, mengusulkan cara melewati perantara keuangan dengan memberikan uang langsung ke individu untuk dibelanjakan, yang dikenal sebagai konsep "helicopter money" — seolah-olah bank sentral menjatuhkan uang dari helikopter.
Temukan berita terbaru dan peristiwa terkini di kategori Investasi Alternatif pada tanggal 04-07-2021. Artikel berjudul "Menguak Pelajaran dari Krisis Properti Jepang yang Mengubah Ekonomi Dunia" memberikan informasi paling relevan dan terpercaya di bidang Investasi Alternatif. Setiap berita dianalisis secara mendalam untuk memberikan wawasan berharga bagi pembaca kami.
Informasi dalam artikel " Menguak Pelajaran dari Krisis Properti Jepang yang Mengubah Ekonomi Dunia " membantu Anda membuat keputusan yang lebih tepat dalam kategori Investasi Alternatif. Berita kami diperbarui secara berkala dan mematuhi standar jurnalistik.


