Mengenal Hubungan Trauma Masa Kecil dan Gejala ADHD yang Tersembunyi
Temukan bagaimana pengalaman masa kecil yang traumatis bisa memengaruhi gejala yang mirip dengan ADHD, dan bagaimana memahami hubungan ini bisa menjadi langkah penting untuk penyembuhan dan penerimaan diri.
Untuk pertama kalinya, saya merasa ada seseorang yang benar-benar mendengarkan saya.

Trauma memiliki cara unik untuk memengaruhi tubuh dan pikiran kita. Dalam pengalaman saya, trauma yang saya alami sejak kecil muncul sebagai kesulitan fokus yang tampak mirip dengan ADHD.
Ketika saya masih kecil, perilaku seperti kewaspadaan berlebihan dan perasaan terlepas dari kenyataan sering disalahartikan sebagai kenakalan atau keinginan mencari perhatian. Orang tua saya bercerai saat saya berusia tiga tahun, dan guru-guru saya menganggap kurangnya perhatian saya adalah bentuk pembangkangan.
Saya sering kesulitan menyelesaikan tugas sekolah dan merasa frustrasi ketika pelajaran sulit dipahami. Saya pikir itu hal yang biasa dan menyalahkan diri sendiri, yang perlahan mengikis rasa percaya diri saya.
Seiring waktu, saya mulai menelaah lebih dalam tentang kesulitan saya dalam berkonsentrasi, mengatur emosi, dan mengendalikan impuls. Saya mulai bertanya-tanya apakah ada penyebab yang lebih mendalam.
Layaknya benang kusut yang mulai terurai, setiap minggu saya mencoba memahami dan menghadapi kenangan serta perasaan yang terkait dengan trauma masa lalu.
Meskipun memahami trauma membantu menjelaskan beberapa kesulitan saya, masih ada masalah dengan perhatian, memori, dan fungsi eksekutif yang belum terjawab.
Setelah melakukan riset dan refleksi diri, saya menyadari gejala saya mirip dengan ADHD. Meskipun awalnya saya tidak banyak tahu tentang gangguan ini, sesuatu dalam diri saya mulai memahami kondisi tersebut.
Saya memutuskan untuk membahasnya pada sesi terapi berikutnya.
Hari itu, saya merasa gugup namun siap menghadapi kenyataan. Terapi menjadi tempat aman untuk berbagi perasaan saya.
Saya mulai menceritakan kesulitan fokus saat menulis dan kebutuhan saya untuk membuat banyak daftar agar tetap terorganisir.
Terapi saya mendengarkan dan mengakui bahwa apa yang saya alami adalah hal yang wajar.
Bukan hanya wajar, tapi juga sudah ada penelitian yang mendukung hal ini.
Anak-anak yang mengalami trauma masa kecil dapat menunjukkan perilaku yang mirip dengan ADHD.
Penting untuk diketahui: Anak-anak yang mengalami trauma sejak dini memiliki kemungkinan lebih besar untuk didiagnosis ADHD.
Meski trauma tidak menyebabkan ADHD secara langsung, ada keterkaitan yang signifikan antara keduanya.
Untuk pertama kalinya, saya merasa tidak sendiri dan tidak malu dengan apa yang saya alami.
Pada tahun 2015, setelah perjuangan panjang dengan kesehatan mental, saya didiagnosis dengan gangguan stres pascatrauma kompleks (CPTSD). Setelah itu, saya mulai mendengarkan tubuh dan berusaha menyembuhkan diri dari dalam.
Barulah saya mulai mengenali gejala ADHD dalam diri saya.
Penelitian juga menunjukkan bahwa orang dewasa dengan PTSD sering mengalami gejala tambahan yang menyerupai ADHD.
Fenomena meningkatnya diagnosis ADHD pada anak-anak membuka pertanyaan menarik tentang peran trauma masa kecil.
Dr. Nicole Brown dari Johns Hopkins menemukan bahwa banyak anak dengan masalah perilaku yang tidak merespon obat ADHD ternyata mengalami trauma berulang yang memengaruhi perkembangan otak mereka.
Diperkirakan hampir 1 juta anak setiap tahun mungkin salah didiagnosis ADHD, sehingga penting untuk menerapkan pendekatan perawatan yang berfokus pada trauma sejak dini.
Ini membuka peluang untuk perawatan yang lebih efektif dan identifikasi dini PTSD pada anak-anak.
Menghadapi kondisi ini sebagai orang dewasa bukanlah hal yang mudah. Sebelum mengetahui penyebabnya, saya sering merasa kebingungan dan terisolasi.
Saat stres datang, saya cenderung melepas diri dari situasi atau menjadi sangat waspada dengan tubuh yang tegang dan sulit fokus.
Sebelum terapi, otak saya mudah kewalahan dan berhenti berfungsi.
Banyak yang mengira saya tidak tertarik atau mudah terdistraksi, yang terkadang merusak hubungan saya dengan orang lain. Padahal, itu adalah cara tubuh saya berusaha melindungi diri.
Saya tidak tahu cara lain untuk melindungi diri saya.
Meski masih banyak yang perlu dipelajari, strategi koping yang saya pelajari selama terapi sangat membantu kesehatan mental saya.
Saya mulai memanfaatkan teknik manajemen waktu dan organisasi, serta latihan fisik dan grounding untuk menenangkan pikiran.
Meski terasa sedikit lebih baik, saya sadar saya membutuhkan bantuan lebih lanjut dan sudah membuat janji dengan dokter untuk mendiskusikan pilihan pengobatan.
Awalnya saya merasa malu dan bersalah atas kesulitan yang saya alami, meskipun tahu banyak orang mengalami hal serupa.
Namun, semakin saya memahami dan menerima diri sendiri, saya menyadari saya sedang berusaha menjadi versi terbaik dengan menunjukkan belas kasih pada diri sendiri.
Obat tidak bisa menghapus trauma, tapi mampu memberi saya kekuatan untuk mengungkapkan kebutuhan dan memahami apa yang terjadi dalam diri saya, yang sangat berarti.
Amanda (Ama) Scriver adalah jurnalis lepas yang dikenal karena kejujuran dan keberaniannya berbagi cerita. Tulisan-tulisannya telah muncul di berbagai media internasional. Dia tinggal di Toronto dan aktif di Instagram.
Temukan berita terbaru dan peristiwa terkini di kategori Kesehatan Seksual pada tanggal 02-05-2020. Artikel berjudul "Mengenal Hubungan Trauma Masa Kecil dan Gejala ADHD yang Tersembunyi" memberikan informasi paling relevan dan terpercaya di bidang Kesehatan Seksual. Setiap berita dianalisis secara mendalam untuk memberikan wawasan berharga bagi pembaca kami.
Informasi dalam artikel " Mengenal Hubungan Trauma Masa Kecil dan Gejala ADHD yang Tersembunyi " membantu Anda membuat keputusan yang lebih tepat dalam kategori Kesehatan Seksual. Berita kami diperbarui secara berkala dan mematuhi standar jurnalistik.


