Memahami Kontroversi Visa H-1B dan Dampaknya pada Pasar Kerja AS
Temukan alasan di balik perdebatan sengit mengenai visa H-1B, kebijakan pemerintah AS terbaru, serta pengaruhnya terhadap pekerja dan industri teknologi di Amerika Serikat.
Perdebatan tentang imigrasi ilegal telah lama menjadi sorotan, apalagi kebijakan larangan masuk bagi warga Muslim yang memicu protes besar. Namun, fokus perhatian kini tertuju pada kebijakan pemerintah AS terkait pekerja asing dengan keterampilan tinggi yang bekerja di negara ini. Hal ini menjadi kekhawatiran utama bagi banyak perusahaan dan investor.
Pemerintahan saat ini telah melakukan beberapa penyesuaian kebijakan untuk mendukung semangat 'Beli Produk Amerika, Pekerjakan Warga Amerika'. Perubahan ini berjalan perlahan namun konsisten, mengingat pemerintah harus menjaga keseimbangan agar industri yang bergantung pada visa pekerja asing tidak terdampak negatif.
Dalam konteks pandemi COVID-19 dan meningkatnya angka pengangguran, Presiden AS mengeluarkan perintah eksekutif pada Juni 2020 yang membekukan penerbitan green card dan visa pekerja sementara, termasuk visa H-1B, H-2B, J, dan L, hingga akhir tahun tersebut, termasuk untuk anggota keluarga pendamping.
Perintah tersebut menyatakan bahwa dalam kondisi ekonomi yang terkontraksi akibat pandemi, beberapa program visa non-imigran yang mengizinkan pekerjaan dianggap dapat mengancam kesempatan kerja bagi warga Amerika.
Pengacara imigrasi menjelaskan bahwa aturan ini akan berdampak pada karyawan dengan visa yang sudah disetujui untuk tahun fiskal 2021, mulai Oktober. Namun, nasib permohonan perpanjangan visa bagi pekerja asing yang sudah berada di AS masih belum jelas.
Beli Produk Amerika, Pekerjakan Warga Amerika
Presiden AS menyebut program visa H-1B sebagai "program tenaga kerja murah". Kritikus menuduh banyak perusahaan menggantikan pekerja Amerika dengan tenaga asing, terutama dari India, yang bersedia menerima upah lebih rendah untuk pekerjaan yang monoton.
Departemen Keamanan Dalam Negeri AS sejak 2017 menerapkan strategi khusus untuk mencegah penipuan dan penyalahgunaan visa. Layanan Kewarganegaraan dan Imigrasi AS (USCIS) memperketat proses perpanjangan visa dengan tingkat pengawasan yang sama seperti saat pengajuan baru. Pada 2019, pembatasan lebih ketat diterapkan pada perusahaan konsultan pihak ketiga, yang merupakan pengguna terbesar program visa ini. Selain itu, aturan undian visa juga diubah agar pencari kerja dengan gelar master atau lebih dari universitas AS memiliki peluang lebih besar untuk terpilih, yang diperkirakan menambah sekitar 5.340 pekerja berkualifikasi tinggi setiap tahun.
Perubahan ini sudah mulai terasa. Jumlah petisi visa H-1B meningkat sedikit pada 2019 menjadi sekitar 201.000 dibandingkan 190.000 pada tahun sebelumnya, namun masih lebih rendah dibandingkan 2015 dan 2016 yang mencapai lebih dari 230.000. Denial rate visa H-1B untuk perusahaan yang sangat bergantung pada visa ini melonjak dari 4% pada 2016 menjadi sekitar 42% pada 2018.
Presiden berjanji akan melindungi pekerjaan warga Amerika dan memastikan program visa ini tidak merugikan tenaga kerja lokal. Namun, solusi tidak sesederhana membatalkan program ini secara total.
Banyak perusahaan teknologi besar sangat bergantung pada talenta asing. Data Biro Statistik Tenaga Kerja AS menunjukkan bahwa lapangan kerja di bidang komputer dan teknologi informasi diperkirakan tumbuh 12% antara 2014 hingga 2024, menciptakan sekitar 488.500 pekerjaan baru. Penelitian dari Universitas California, Davis dan Universitas Colgate bahkan menunjukkan bahwa pekerja sementara dengan visa ini justru menambah lapangan pekerjaan bagi warga Amerika. Tokoh seperti CEO Facebook Mark Zuckerberg dan co-founder Apple Steve Jobs juga menegaskan pentingnya menambah pasokan tenaga kerja teknologi di Silicon Valley.
Dalam pertemuan dengan para pemimpin teknologi di New York pada Desember 2016, CEO Microsoft Satya Nadella, yang kemungkinan besar pernah menggunakan visa H-1B, menekankan pentingnya menarik dan mempertahankan talenta asing. Presiden pun merespon dengan pernyataan, "Mari kita perbaiki itu."
Menurut buku terbaru Michael Wolff, Trump mengakui kepada Rupert Murdoch bahwa perusahaan teknologi sangat membutuhkan visa H-1B, meskipun sikapnya terhadap imigrasi cukup keras. Mereka berjanji akan mencari solusi terbaik.
Kekurangan Tenaga Kerja atau Kapitalisme Tanpa Kendali?
Program visa H-1B diluncurkan pada 1990 melalui "Immigration Act of 1990" yang ditandatangani Presiden George H.W. Bush. Tujuannya adalah membantu perusahaan AS mengatasi kekurangan tenaga kerja di bidang yang berkembang pesat dan membutuhkan keahlian khusus, seperti riset, teknik, dan pemrograman komputer. Setiap aplikasi diajukan oleh perusahaan sponsor yang bertanggung jawab atas biaya dan prosesnya. Batas tahunan visa ini adalah 65.000, plus tambahan 20.000 untuk pemegang gelar master dari universitas AS. Jika jumlah aplikasi melebihi kuota, pemerintah mengadakan undian untuk menentukan siapa yang mendapatkan visa. Sebanyak 6.800 visa juga dialokasikan khusus untuk pekerja dari Chile dan Singapura sesuai perjanjian perdagangan bebas dengan AS.
Pada 2019, tercatat lebih dari 201.000 petisi diajukan meskipun ada kenaikan biaya aplikasi hingga $4.000 untuk beberapa pelamar. Permintaan tinggi ini bisa berarti kekurangan tenaga kerja berkualitas di AS, atau indikasi penyalahgunaan sistem oleh perusahaan.
Aturan mewajibkan perusahaan membayar upah sesuai standar dan tidak menggantikan pekerja Amerika. Namun, ada celah besar yang membebaskan perusahaan membayar di atas $60.000 atau mempekerjakan pemegang gelar master dari aturan tersebut. Bruce Morrison, salah satu pembuat undang-undang 1990, menyebut celah ini sebagai "perbuatan licik" yang dipengaruhi oleh lobi industri. Lebih dari setengah petisi yang disetujui pada 2014 berasal dari pekerja bergelar master atau lebih, yang secara legal dapat dibayar lebih rendah dari pekerja Amerika yang digantikan.
Beberapa perusahaan besar, seperti Walt Disney dan Southern California Edison, dituduh menggantikan pekerja Amerika dengan tenaga kerja asing yang lebih murah. Laporan New York Times mengungkap praktik manipulasi sistem visa oleh perusahaan outsourcing. Studi dari Economic Policy Institute menunjukkan pekerja H-1B di perusahaan IT India yang menyediakan jasa outsourcing di AS dibayar lebih rendah dibandingkan pekerja Amerika, sehingga perusahaan menghemat lebih dari $20.000 per tahun per pekerja.
Migration Policy Institute menemukan bahwa perusahaan yang sangat bergantung pada visa H-1B (minimal 15% tenaga kerjanya adalah pemegang visa) memanfaatkan celah tersebut, membayar upah lebih rendah, dan mempekerjakan lebih sedikit pekerja bergelar tinggi dibanding perusahaan yang tidak bergantung pada visa.

Perusahaan yang memenuhi kriteria legal dan benar-benar membutuhkan visa juga dirugikan oleh sistem undian yang didominasi oleh perusahaan outsourcing besar. Pada tahun fiskal 2016, 10 perusahaan teratas penerima visa menguasai 41% dari total visa yang diterbitkan. Lebih dari 70% petisi H-1B yang disetujui pada 2019 adalah untuk pelamar dari India, dengan sebagian besar posisi di bidang komputer dan teknologi, menurut data USCIS.
Industri Teknologi yang Paling Terdampak
Menurut laporan tahunan Departemen Tenaga Kerja AS 2016, tiga pekerjaan teratas yang menerima visa H-1B adalah Analis Sistem Komputer, Pengembang Perangkat Lunak, dan Programmer Komputer, yang mencakup 52% dari seluruh kategori pekerjaan. Hampir setengah dari aplikasi disetujui berasal dari perusahaan di California, Texas, New York, New Jersey, dan Illinois.
Perhatian Satya Nadella tercermin dari aktivitas lobi Microsoft di Washington. Berdasarkan data OpenSecrets.org, Microsoft termasuk di antara 605 organisasi yang melobi pemerintah terkait isu imigrasi, bersama dengan Alphabet Inc., Cognizant Technology Solutions, dan Facebook Inc.
Amazon Inc., yang juga memperluas perekrutan di Kanada, melobi Kongres mengenai isu imigrasi tenaga kerja berkeahlian tinggi.
Perusahaan sering mengajukan permohonan green card bagi pekerja sementara yang ingin dipertahankan. Data DOL tahun fiskal 2016 menunjukkan Cognizant Technology Solutions, Microsoft, Intel, Google, dan Amazon sebagai pengaju terbanyak. Jika aliran visa H-1B terbatas, kemampuan perusahaan untuk mempekerjakan karyawan asing jangka panjang akan terhambat. Pembatasan perpanjangan visa selama proses pengajuan green card juga akan membatasi keberadaan mereka di AS.
Isu ini juga membuat perusahaan IT India yang berbasis di AS cemas. Perusahaan seperti Infosys, Tata Consultancy Services, dan Wipro menyediakan jasa outsourcing dan mempekerjakan ribuan pekerja H-1B. CEO Infosys, Vishal Sikka, menyatakan pentingnya strategi lokal dan inovasi berbasis talenta lokal. CEO Tech Mahindra, CP Gurnani, berharap pemerintah AS memahami bahwa mereka membawa tenaga kerja teknologi berkeahlian tinggi yang berkontribusi pada ekonomi lokal.
Perkembangan Terbaru
Menteri Tenaga Kerja Alexander Acosta menyatakan rencana pemerintah untuk menaikkan biaya aplikasi visa H-1B guna mendanai program pelatihan teknologi. Kenaikan biaya sebelumnya sudah diterapkan pada 2016 untuk perusahaan dengan 50% tenaga kerja H-1B, dengan target utama perusahaan IT India yang sangat bergantung pada visa ini.
Departemen Keamanan Dalam Negeri juga mengusulkan aturan baru yang memperketat definisi "pekerjaan khusus" dan meningkatkan pengawasan agar perusahaan membayar upah yang layak kepada pemegang visa.
Pada awal 2018, memo internal DHS memicu kekhawatiran tentang kemungkinan pembatasan perpanjangan visa H-1B setelah perpanjangan ketiga. Hal ini berkaitan dengan pekerja yang sedang menunggu proses green card. Kamar Dagang AS memperingatkan bahwa kebijakan ini akan merugikan bisnis dan ekonomi serta bertentangan dengan sistem imigrasi berbasis prestasi.
USCIS kemudian menegaskan bahwa tidak ada rencana untuk mengubah kebijakan tersebut dan menyatakan bahwa perpanjangan visa masih dapat dilakukan dalam satu tahun, sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun sumber-sumber menyebut bahwa pemerintah sempat mempertimbangkan perubahan ini sebelum menariknya akibat reaksi negatif dari komunitas bisnis.
Pemerintah juga berencana mencabut izin kerja untuk pasangan pemegang visa H-1B.
Tinjauan ke Depan
Isu utama adalah memastikan perusahaan tidak memanfaatkan tenaga kerja murah di AS. Perintah eksekutif presiden meminta departemen pemerintah mencari pengganti sistem undian saat ini dan memastikan penegakan hukum yang ketat.
Beberapa rancangan undang-undang di Kongres menawarkan solusi berbeda. Mantan Jaksa Agung Jeff Sessions pernah menyatakan bahwa tidak benar jika warga Amerika bisa digantikan oleh siapa pun yang mau bekerja dengan upah lebih rendah. Pada 2016, dia menjadi salah satu pengusul RUU yang menetapkan upah minimum $110.000 untuk pekerja H-1B, atau setara upah rata-rata pekerja Amerika di posisi serupa.
RUU Protect and Grow American Jobs Act yang diajukan tahun lalu berupaya menutup celah dengan menaikkan upah minimum H-1B menjadi $100.000 dan menghapus pengecualian untuk gelar master. Komite Kehakiman DPR menyetujui RUU ini pada November lalu.
Selain itu, RUU bipartisan H-1B and L-1 Visa Reform Act 2015 yang diajukan ulang oleh Senator Chuck Grassley bertujuan menghapus sistem undian dan memprioritaskan pemegang gelar AS. RUU High-Skilled Integrity and Fairness Act 2017 yang diajukan oleh Perwakilan Zoe Lofgren juga bertujuan menghapus pengecualian gelar master dan menaikkan upah minimum dari $60.000.
Immigration Innovation Act 2018 yang diperkenalkan di DPR pada September lalu mengusulkan penggunaan dana dari biaya visa H-1B untuk mendukung pendidikan STEM domestik dan pelatihan tenaga kerja, termasuk bantuan keuangan dan riset, serta memberikan fleksibilitas lebih pada pemegang visa H-1B. Diharapkan investasi ini dapat mengurangi ketergantungan pada pekerja asing sambil mendorong pertumbuhan ekonomi AS.
Kesimpulan
Program visa H-1B sangat kecil kemungkinannya untuk dihapuskan sepenuhnya. Selain menjadi jalur utama bagi perusahaan untuk mengakses talenta terbaik dunia, visa ini juga menjadi jalan menuju kewarganegaraan bagi pekerja asing yang berkontribusi positif pada pasar tenaga kerja Amerika.
Perlu dicatat pula kontribusi perusahaan IT India di AS, yang membayar pajak sebesar $22 miliar antara 2011 hingga 2015 menurut laporan asosiasi perdagangan teknologi India, Nasscom. Pekerja sementara India dengan visa H-1B dan L1 menyumbang sekitar $3 miliar setiap tahun untuk dana jaminan sosial, meski banyak yang tidak tinggal cukup lama untuk menerima manfaatnya. Ditambah lagi, tantangan untuk mengisi 488.500 pekerjaan baru yang diperkirakan tercipta hingga 2024 menuntut sistem pendidikan AS agar mampu memenuhi kebutuhan tenaga kerja masa depan.
Jelajahi artikel bermanfaat di kategori Berita Pemerintahan pada tanggal 28-06-2020. Artikel berjudul "Memahami Kontroversi Visa H-1B dan Dampaknya pada Pasar Kerja AS" menawarkan analisis mendalam dan saran praktis di bidang Berita Pemerintahan. Setiap artikel dibuat dengan cermat oleh para ahli untuk memberikan nilai maksimal bagi pembaca.
Artikel " Memahami Kontroversi Visa H-1B dan Dampaknya pada Pasar Kerja AS " memperluas pengetahuan Anda dalam kategori Berita Pemerintahan, menjaga Anda tetap terinformasi tentang perkembangan terbaru, dan membantu membuat keputusan yang tepat. Setiap artikel berbasis konten unik, menjamin orisinalitas dan kualitas.


